Tanah Air yang Hilang

Martin Aleida lahir di Tanjung Balai,  Asahan, Sumatera Utara, 31 Desember 1943. Penulis yang lebih dari lima puluh tahun usianya dihabiskan di Jakarta sebagai penulis, wartawan dan mahasiswa. Pada bulan juni 2017 cerpen beliau terpilih menjadi yang terbaik dalam penghargaan cerpen kompas 2016. Cerpen itu berjudul “Tanah Air”.

Tanah Air yang Hilang, banyaknya warga Negara Indonesia yang terpaksa harus meninggalkan tanah air dan tidak bisa kembali lagi. Bukan karena tidak mau, tetapi semua harus diterima sesuai dengan kenyataan. Mereka sudah menjadi warga Negara lain, tetapi Indonesia tetaplah tanah air mereka.

Ketika mendapat suaka di Negara baru, mereka lega. Ketika pulang ke Indonesia, mereka menggunakan paspor Negara lain. Pada sebentuk hati yang sudah berpuluh tahun kehilangan tanah air, tanpa paspor yang dulu dipegang ketika meninggalkan Indonesia, pulang adalah herois yang datang berulang-ulang sampai akhir hayat.

“Kami tak punya kewarganegaraan. Inilah nasib yang kita tidak nyana. Padahal posisi kita jelas. Kita setia dan cinta tanah air dengan tujuan kembali ke Indonesia untuk menyumbangkan sesuai dengan kemampuan masing-masing bagi kemajuan Indonesia”.

“Tujuan kami Indonesia, Bung! Bukan Belanda! Pulang untuk membangun Indonesia. Kami akhirnya tinggal di sini karena situasi yang tidak memungkinkan kami pulang pada waktu itu”.

Mereka bukan Diaspora yang menerima paspor dengan kemegahan. Melainkan orang-orang yang haknya atas sebuah tanah air telah dirampas. Mereka berkelana menyebrangi berbagai batas Negara dalam ketakutan. Tanpa paspor, untuk menghindari pengejaran yang dilancarkan oleh sebuah rezim yang bertahta berdasawarsa lamanya.

Mereka yang lenyap  tanah airnya, sebagai satu fenomena Indonesia, sudah lama Martin ketahui. Jauh sebelum Gus Dur menggambarkan mereka sebagai orang-orang “klayaban” yang mengembara diberbagai Negara Eropa Barat.

Buku Ini mengumpulkan  cerita 19 orang Indonesia yang terpaksa kehilangan tanah air dan tinggal diberbagai sudut Eropa. Mereka berkelana menyebrangi berbagai batas Negara dalam ketakutan, tanpa paspor, untuk mengindari pengejaran yang dilancarkan oleh sebuah rezim yang bertahta berdasawarsa lamanya.

Buku yang sangat menarik, bahwa masih banyak orang yang cinta tanah air Indonesia namun harus menerap di Negara lain, bahkan mereka kehilangan tanah airnya. Bukan karena mereka tidak ingin pulang, namun saat itu menetap di Negara lain adalah satu-satunya jalan hidup yang harus mereka ambil.

Cintailah tanah airmu – Indonesia! karena kamu termasuk orang yang lebih beruntung daripada mereka yang harus kehilangan tanah air mereka sendiri.