JERUSALEM: RUMAH TIGA PUTRA ABRAHAM

BELAKANGAN ini, mata dunia internasional seolah tak mau mengalihkan pandangannya dari Jerusalem. Status Kota Suci bagi tiga agama Abrahamistik–Yudaisme, Kristen, dan Islam–ini sedang diperebutkan. Konflik “abadi” perebutan yurisdiksi tanah antara Israel-Palestina disulut lagi. Pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump memancing keributan mondial. Paman Sam mengakui status Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Bahkan, Trump memerintahkan rencana pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem.

Dari kacamata religius, Jerusalem adalah kota yang sangat strategis. Kota ini menjadi situs peziarahan rohani bagi tiga agama Samawi. Orang Yahudi melihat Jerusalem sebagai pusat aktivitas keagamaan, bahkan politik. Mereka meyakini bahwa kota itu suci, tempat yang paling layak untuk menyembah Tuhan. Sementara umat Kristen–baik Katolik, Protestan, maupun Ortodoks–memposisikan Jerusalem sebagai tempat terjadinya penebusan. Hampir seluruh proses penyelamatan umat manusia oleh Yesus Kristus terjadi di kota ini. Banyak situs merekam jejak hadirnya Sang Allah Putra di dunia. Dan, umat Islam percaya bahwa Nabi Muhammad S.A.W. diangkat ke surga di kota ini.

Kesucian Jerusalem memang tak diragukan lagi. Namun, kesucian yang selalu identik dengan damai itu tidak terwujud di Kota Daud ini. Sejak abad pertama, kota ini senantiasa jadi rebutan. Tahun 70, kota ini sudah diluluhlantakkan oleh legiun Romawi di bawah Jenderal Titus. Bangsa Persia pernah menghancurkan kota ini tahun 614 dan mengusir orang-orang Yahudi. Pendudukan Jerusalem lalu dipegang oleh kekhalifahan dan dilanjutkan masa Perang Salib hingga paruh pertama abad ke-13. Setelah itu, Kesultanan Mameluk Mesir menguasai Jerusalem hingga Ottoman Turki berkuasa. Tahun 1917, Kekaisaran Ottoman bertekuk lutut sehingga wilayah ini diserahkan kepada Inggris. Kemudian, Israel memproklamasikan diri sebagai negara merdeka tahun 1948. Sejak saat itu, konflik “abadi” Israel-Palestina senantiasa menghiasi situasi kota suci ini. Meski begitu, akses peziarahan rohani untuk umat Yahudi, Kristen, dan Islam dibuka sejak 1967. Kondisi ini menjadi fenomena yang bernuansa ironis, “Tempat suci ini dihiasi konflik abadi”.

Aneka fragmen kisah Jerusalem tersebut tersusun apik dalam buku Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, karya wartawan senior Kompas, Trias Kuncahyono. Selain sentuhan peace journalism yang kental, buku yang terdiri dari tujuh bab ini memberikan ulasan sejarah, politik, bahkan teologi yang kuat. Diawali dengan kisah mengenai cerita-cerita dari ibunya kala masih kecil tentang Jerusalem, buku ini mengajak pembaca semakin masuk mengenali, memahami, dan merefleksikan realitas di Kota Suci Jerusalem. Petilasan-petilasan suci bagi “tiga putra Abraham” dilukiskan sedemikian rupa dengan balutan narasi historis yang membuka wahana untuk berefleksi. Setelah itu, berbagai upaya damai yang sudah ditempuh, kegagalan demi kegagalan yang dibumbui harapan untuk masa depan yang lebih baik dikisahkan secara runtut. Buku ini mampu menampilkan Jerusalem sebagai realitas yang sarat nilai historis, kultural, religius, dan spiritual, sekaligus realitas yang terus tercabik dan terluka dalam perjalanan sejarahnya.

Maka, untuk memahami reaksi protes dunia internasional terhadap pernyataan Trump, jawabannya ada di dalam buku ini. Buku yang sudah cetak ulang hingga 17 kali ini menjadi best seller yang –oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta–dinilai pantas disandingkan dan dibandingkan dengan karya Karen Amstrong. Selamat menambah koleksi perpustakaan pribadi Anda! (RBE)