Warisan Terakhir Daoed JOESOEF

“USIA senja ini akan kujalani dengan kegiatan menulis. Aku akan tetap menulis dan berusaha terus menulis. Ecrire c’est vivre. To live is to write. Bagiku, menulis adalah hidup itu sendiri. Menulis menjadi asupan par excellence bagai hidup.” Itulah sebuah kutipan dari buku Rekam Jejak Anak Tiga Zaman, autobiografi Daoed JOESOEF, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dalam Kabinet Pembangunan III (1978-1983). Kutipan tersebut menggambarkan konsistensi ini, sebagai insan intelektual yang senantiasa harus mengasah diri dalam pencarian ide dan gagasan baru demi kemajuan bersama.

Sikap ini secara konsisten dihidupi dalam laku, sikap, dan buah karya. Inilah salah satu bentuk kesaksian dan keteladanan kepada generasi muda. Bagi Daoed JOESOEF, hidup adalah menulis. Dia yakin bahwa menulis adalah kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dari membaca, sebagai jalan mendapatkan ilmu. “Kerjaku sehari-hari pada pokoknya adalah menulis dan dengan sendirinya membaca, karena kedua kegiatan itu adalah dua sisi dari koin yang sama. …Lagi pula kegiatan-kegiatan intelektual tersebut merupakan cara/jalan penguasaan ilmu pengetahuan,” demikianlah refleksi alumnus Universite Pluridisciplinaires de Paris I–Pantheon–Sorbonne, Perancis (1964-1972), terhadap kecintaannya pada dunia tulis-menulis.

Tidak mengherankan jika di usia senjanya, Daoed JOESOEF berhasil menyelesaikan autobiografinya, sekitar tiga bulan sebelum tutup usia pada 23 Januari 2018. Autobiografi yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (PBK, 2017) tersebut memotret kisah perjalanan hidupnya sejak masa kanak-kanak hingga usia senja. Judul Rekam Jejak Anak Tiga Zaman ingin menegaskan bahwa alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI, 1950-1959) ini memang hidup pada tiga zaman. Pertama, dia mengalami masa kanak-kanak pada zaman kolonial Belanda. Kedua, masa remajanya dia lalui pada zaman penjajahan Jepang. Ketiga, kiprah Daoed JOESOEF pada masa kemerdekaan yang meliputi tiga periode, yaitu Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Dia menjadi pelaku dan saksi sejarah perkembangan bangsa dan negara Indonesia bersama dengan anak-anak bangsanya. Jiwa mudanya sempat dipersembahkan kepada Ibu Pertiwi dalam perlawanan fisik, yaitu bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Divisi IV Sumatera Timur (1945-1946). Lalu, dia bergabung dengan Tentara Pelajar Brigade 17 Batalyon 300 di Yogyakarta; masuk jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan berdinas di Jakarta (1950-1951).

Autobiografi ini ditulis dengan gaya bertutur yang mengalir, seperti sedang mendengarkan kisah yang tampak begitu hidup. Ada 78 cerita yang disajikan dengan prinsip “to make it as simple as possible but not simpler–membuatnya sesimpel mungkin tetapi tidak lebih simple hingga kehilangan makna (senseless)”. Daoed JOESOEF juga berusaha membahasakan monografi ini secara “prosais” dengan mengubah ungkapan “saya”–yang merujuk pada dirinya–menjadi “aku”. Membaca buku ini, seolah diajak mengembara di belantara gagasan dan ide, inspirasi dan aksi, keberanian dan kenekatan, keterbukaan tanpa kepura-puraan, serta kejujuran berbagi kisah hidup dalam kesahajaan.

Keteguhan sikapnya untuk mempertahankan pendapat yang beralasan mendasar sebagai kebenaran dan layak diperjuangkan, tak sedikit membuat orang mengernyitkan dahi. Ketidaksetujuan dia ungkapan secara lugas. Kemunafikan berusaha dia lawan tanpa tedheng aling-aling (Jawa: tidak ditutup-tutupi/langsung tanpa basa-basi). Misalnya, dia secara terbuka mengungkapkan ketidaksepahamannya dengan Soeharto mengenai pola pembangunan ekonomi sejak awal. Sebagai pakar ekonomi yang punya perhatian besar pada dunia pendidikan, Daoed JOESOEF menilai bahwa tidak tepat jika “Mafia Berkeley” menguasai pembangunan ekonomi kita. Alhasil, konsep yang dijalankan tersebut–setelah lebih dari seperempat abad–membuat Indonesia terjerat utang luar negeri. Sejak awal, Ketua Dewan Centre for Strategic and International Studies (CSIS, 1972-1998) ini menegaskan bahwa pembangunan ekonomi saja tidaklah cukup. Bangsa ini harus dibangun secara menyeluruh, yang dia sebut sebagai “Pembangunan Nasional”.

Militansinya tersebut juga sempat bersinggungan cukup tegang dengan para dosen di FE-UI. Ketika sudah menjadi Mendikbud, Daoed JOESOEF diajukan untuk menjadi Guru Besar (Profesor). Tawaran ini membuatnya naik pitam dan dengan keras dia tolak. Bahkan, mengambil sikap yang berbeda dengan Majelis Ulama Indonesia pun dia tempuh sebagai bentuk perjuangan menjunjung tinggi semangat kebhinnekaan yang dihidupinya sejak masa muda. Dan, masih banyak kisah menarik lainnya.

Membaca buku ini tak akan menimbulkan kebosanan. Justru sebaliknya, muncul banyak inspirasi dari rekam jejak mantan anggota staf pengajar FE-UI (1954-1963) ini. Di balik pengenalan orang yang melihat Daoed JOESOEF sebagai pribadi yang kaku dan keras, ternyata muncul banyak sisi lain yang menarik untuk disimak. Yang tidak berubah dari pribadi ini sejak masa mudanya adalah konsistensi, militansi, kejujuran, dan kesederhanaannya. Harapannya, banyak generasi muda ikut menyusuri rekam jejak tokoh bangsa yang sudah menyelesaikan tugas pengabdiannya di dunia ini, untuk melanjutkan cita-cita luhurnya demi kemajuan dan kesejahteraan Ibu Pertiwi. (RBE)

Buku dapat diperoleh di Gerai Kompas.id https://kompas.id/gerai/belanja/buku/rekam-jejak-anak-tiga-zaman/