Apakah Indonesia Masih Bisa Bertahan 500 Tahun Lagi?

Indonesia, negara kepulauan yang berdiri di tengah kemajemukan penduduknya yang terdiri dari lebih dari 300 kelompok etnik, 700 macam bahasa, dan beragam kepercayaan, berpotensi menjadi salah satu negara berkekuatan besar di dunia, jika belum hancur oleh aset bangsanya sendiri. Di balik keberagaman yang membuat Indonesia menjadi sangat kaya budaya, tidak bisa dipungkiri kalau suku, ras, dan agama menjadi isu yang cukup sensitif mengingat sejarah kelam bangsa Indonesia di alam penjajahan. Setiap kelompok memiliki kepentingan masing-masing, dan setiap orang di dalam setiap kelompok mempunyai pemikiran sendiri-sendiri. Apalagi, saat ini akses terhadap informasi semakin mudah, dan di media sosial, terutama, terkadang sulit rasanya membedakan apakah berita tersebut memang bisa dibuktikan kebenarannya atau hanya hoax yang ingin menyulut perpecahan.

Melihat kenyataan tersebut, rasanya tidak salah apabila pertanyaan “Apakah Indonesia masih bisa bertahan 500 tahun lagi?” menjadi sorotan dalam acara bedah dan diskusi buku Resolusi Konflik: Jembatan Perdamaian di Perpustakaan Litbang Kompas, Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Kamis (22/3) lalu. Hadir sebagai pembicara dalam acara ini adalah Dr. Ichsan Malik selaku penulis buku, Guru dan Peneliti Studi Agraria Indonesia Noer Fauzi Rachman sebagai pembedah, dan wartawan Kompas Marcellus Hernowo sebagai moderator.

Diakui Ichsan, keragaman yang ada di Indonesia sangat berpotensi menyebabkan konflik, ditambah lagi dengan faktor kesenjangan sosial dan kemiskinan akibat pembangunan yang belum merata. Buku Resolusi Konflik: Jembatan Perdamaian merupakan buku yang mengangkat pengalaman dan upayanya dalam mencegah dan menyelesaikan konflik secara terstruktur dan sistematis. Ichsan, yang saat ini menjabat sebagai ketua IM Centre untuk Dialog dan Perdamaian, pernah menjadi inisiator dan fasilitator dari Gerakan Perdamaian Maluku ‘Baku Bae’ untuk membangun perdamaian di Maluku. Beliau juga pernah menjadi fasilitator tim Nahdlatul Ulama Indonesia dalam menciptakan perdamaian di Afghanistan, dan terlibat dalam misi solidaritas ke Thailand Selatan, Kachin, Myanmar, Mindanao, dan Korea Utara.

Berbekal pengalaman yang luar biasa banyak dan analisisnya terhadap situasi saat ini di Indonesia, Ichsan tidak menyangkal kalau kerusuhan bernuansa rasial yang terjadi di tahun 1950-an bisa terulang kembali. “Konflik di Indonesia penyebabnya selalu unresolved problems, masalah yang tidak tuntas diselesaikan. Kumpulan memori tersebut kemudian menjadi memori kolektif, lalu menjadi narasi negatif yang dari dulu topiknya selalu sama, hanya mediumnya saja yang berbeda,” ujarnya. Ia juga menambahkan, fenomena yang beredar saat ini adalah competitive victimhood, di mana setiap kelompok yang berkonflik berlomba-lomba untuk menjadi tokoh yang paling menderita.

Menurut Ichsan, ada beberapa hal yang harus dilakukan ketika konflik pecah di sebuah wilayah. Yang pertama adalah menghentikan kekerasan dengan mengadakan dialog kepada lawan maupun kawan, dan mengubah lawan menjadi kawan. Kedua, menyiapkan jembatan perdamaian melalui upaya pemenuhan kesejahteraan masing-masing pihak. Ketiga, melakukan rekonsiliasi menuju perdamaian dan hubungan yang lebih harmonis di masa yang akan datang. Yang terakhir, tentu saja melakukan berbagai cara supaya konflik tersebut tidak akan terjadi lagi.

Seperti yang diungkapkan oleh Noer Fauzi sebagai pembedah, yang menarik dalam buku ini adalah bagaimana Ichsan mengembangkan sendiri ilmu yang ia dapat dari pengalamannya bertahun-tahun dan menciptakan perangkat yang dapat dipelajari oleh semua pihak yang berkepentingan untuk menurunkan situasi perang menjadi kondisi konflik, kemudian diturunkan lagi menjadi kondisi sengketa hingga mencapai kondisi akhir yaitu menerima perbedaan yang ada.

Letkol Angkatan Udara (TNI AU) Romo Yosef Bintoro, yang hadir sebagai tamu di acara bedah buku ini, juga memberikan tanggapan positif atas buku Resolusi Konflik: Jembatan Perdamaian. “Buku ini merupakan narasi melawan lupa,” ucapnya. Ia juga mengingatkan bahwa ada contoh kerukunan masyarakat yang sangat nyata terjadi di Indonesia, yaitu di wilayah Lasem, Jawa Timur, yang menurutnya merupakan salah satu daerah “zero conflict”.

Menanggapi salah satu pertanyaan hadirin tentang seberapa besar peran negara terlibat di dalam sebuah konflik, Ichsan menyebutkan ada dua strategi besar resolusi konflik. Jalur pertama adalah State to State, di mana pendekatan dilakukan antarpemerintah terkait, dan jalur kedua adalah People to People, di mana pendekatan dilakukan pada level akar rumput. Banyak resolusi konflik yang berakhir dengan kegagalan karena hanya menunggu inisiatif jalur pertama, sementara pihak masyarakat lupa menjalankan jalur kedua, yang sebenarnya paling penting.

“Semua konflik di dunia itu ada di Indonesia. Konflik dengan isu agama atau etnik adalah konflik yang sulit diselesaikan (intractable conflict), karena terkait dengan sejarah panjang Bangsa Indonesia. Karena itu, kita harus belajar menerima perbedaan yang ada di tengah masyarakat, baik itu perbedaan agama, etnik, dan juga rezeki tentunya,” kata Ichsan.

Menutup acara bedah buku, Noer Fauzi juga menjelaskan kalau konflik di masyarakat tidak akan pernah bisa dibilang selesai. “Jadi, memang harus ada penelitian terus-menerus. Kita perlu mempelajari Ilmu Pengetahuan Indonesia,” ujarnya.

Klik di sini untuk mendapatkan buku Resolusi Konflik – Jembatan Perdamaian atau silakan kunjungi Gerai Kompas.id untuk buku-buku lainnya.