SETIAP pribadi memiliki cita rasanya tersendiri untuk berbuka puasa selama menjalankan ibadah di Bulan Ramadan. Ada yang mengusahakan berkumpul bersama keluarga di rumah dengan berjuang menembus padatnya jalan raya. Ada pula yang menjadikannya momen perjumpaan dengan sahabat dan kolega. Pun ada yang memaknainya sebagai cara menyapa sesama dalam komunitas-komunitas yang diikuti. Tentu masing-masing pribadi memiliki kesan tersendiri terhadap peristiwa tersebut.
Menarik jika berbuka puasa dilakukan dalam balutan kebersamaan dengan kolega seprofesi, tetapi memiliki latar belakang kepakaran dalam bidang yang berbeda-beda. Inilah yang terjadi dalam acara “Buka Puasa Bersama” dari Komunitas Penulis Penerbit Buku Kompas (KP-PBK). Para penulis buku, editor, desainer grafis, ilustrator, pengelola toko buku, dan semua yang terkait dengan kegiatan penerbitan buku, berkumpul dalam nuansa persaudaraan. Kali ini, kegiatan “Buka Puasa Bersama” KP-PBK diawali dengan acara diskusi dan bedah buku Turki, Revolusi Tak Pernah Henti, karya wartawan senior Kompas, Trias Kuncahyono. Acara yang dihelat di Menara Kompas, Rabu, 23 Mei 2018 ini menghadirkan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dan Zuhairi Misrawi sebagai pembedahnya. Sementara itu, Redaktur Pelaksana Harian Kompas, Mohammad Bakir didaulat sebagai moderator diskusi.
Tak disangka, antusiasme peserta begitu berkobar. Ruang Cincin Api di Menara Kompas–tempat acara digelar–penuh dengan peserta diskusi. Diskusi ini menjadi menarik karena pengalaman perjalanan demokratisasi di Turki sedikit-banyak dibandingkan dengan dinamika kehidupan bersama di Indonesia. Tarik-menarik antara sekularisme dan Islamisme yang terjadi di Turki menjadi potret menarik yang dapat digunakan sebagai lesson-learnt bagi perziarahan demokratisasi di Tanah Air.
Sontak tema ini menyentuh para peserta yang hadir, yang tentu memiliki perspektif masing-masing dalam melihat, memahami, dan memaknai sekularisme, Islamisme, serta proses demokratisasi di negeri ini. Sejak abad ke-14 hingga paruh pertama abad ke-20, Dinasti Ottoman di Turki menjadi potret khilafah terpanjang dalam sejarah. Kekuasaan dan kejayaan Ottoman ini akhirnya berakhir dan runtuh tahun 1923. Selama berabad-abad itu, banyak orang Turki mengalami “trauma” atas otoritarianisme berjubah agama yang muncul dalam praktik kekhilafahan. Inilah pelajaran berharga bagi Indonesia yang ditunjukkan dalam sejarah Turki, bahwa paham khilafah ternyata punya tendensi untuk tampil dalam wajah otoritarianisme berjubah agama.
Oleh karena itu, saat ini, Turki sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam termasuk satu-satunya negara Arab yang menganut paham demokrasi. Secara eksplisit, disebutkan bahwa Turki menganut paham sekuler. Sementara itu, masih ada sebagian rakyat Turki yang mengimpikan Islamisme yang mewujud dalam negara khilafah. Maka, tak mengherankan jika Turki mengarungi sejarah dengan berbagai revolusi yang terus berlangsung hingga sekarang. Maklum saja karena militer merupakan salah satu determinan dari sekularisme. Demikianlah satu pelajaran lagi yang dapat dipetik dari sejarah Turki, yang hingga sekarang berkubang dalam ketidakstabilan politik karena tarik-menarik antara sekularisme dan Islamisme.
Minat peserta terhadap tema yang dibahas terasa menggelora. Pasalnya, selain para penulis, editor, dan yang terkait dengan proses penerbitan buku, hadir juga relasi Kompas dari berbagai kalangan, seperti mantan duta besar, kalangan akademisi, wakil dari kementerian luar negeri, wakil dari ormas, dan sahabat dari berbagai latar belakang. Kenikmatan mendengarkan ulasan memancing suasana diskusi kian renyah. Hampir seluruh peserta ingin mengemukakan tanggapan atau melontarkan pertanyaan.
“Diskusinya bagus, sayang waktunya kurang. Banyak hal yang terkait dengan Indonesia belum dibahas,” ungkap Daradjadi—penulis buku Geger Pacinan dan Mr. Sartono. Sebagai penulis buku sejarah, dia ingin lebih memperdalam bahasan Turki yang berkelindan dengan budaya lokal Indonesia. Dalam kesempatan kali ini, Daradjadi menyampaikan niatnya untuk menulis seorang tokoh Perhimpunan Pelajar Indonesia yang meninggal dunia di Negeri Belanda, saat negeri tersebut diduduki oleh Jerman ketika berlangsungnya Perang Dunia II (1939-1945).
Tepat Azan Magrib berkumandang, diskusi formal pun terpaksa diakhiri. Sambil melegakan dahaga setelah seharian berpuasa, acara dilanjutkan dengan ramah-tamah di antara para peserta. Mereka saling menyapa, bercerita pengalaman, bertukar pikiran, bahkan melanjutkan diskusi secara lebih serius. Di sinilah setiap pribadi bisa memperkaya pribadi lain sekaligus diperkaya oleh yang lain. Prinsip kesalingan ini terjalin dalam elan persaudaraan sebagai sesama anggota PK-PBK.
Dalam salah satu lingkar pembicaraan, Rusdy Hoesein–sejarawan yang menulis buku Terobosan Bung Karno dalam Perundingan Linggarjati–menyampaikan, “Perlu ada pengembangan diskusi lebih lanjut! Bung Hatta, salah satu tokoh pendiri bangsa Indonesia, adalah seorang yang menjalankan dengan taat Syariat Islam. Namun, kita melihat bahwa pemikirannya begitu sekuler dan pluralis.” Menurut Rusdy, sosok Hatta ini perlu diungkap lebih mendalam melalui penelitian dan juga penerbitan buku. Bung Hatta yang belajar di Belanda, lanjut Rusdy, pasti mendengar dan juga mengikuti tentang Revolusi Turki tahun 1918-1927. Keyakinan Rusdy ini mengerucut pada pencarian figur yang dapat menjadi teladan secara riel bagaimana menghidupi Islam dalam konteks negara demokrasi–terutama yang bernafaskan Pancasila.
“Tidak hanya diskusinya yang mencerahkan, nasi liwetnya sangat enak…,” tukas Aji Chen Brotokusumo, penulis buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara. (CAH/RBE)