Judul : Yuk, Belajar Ujaran dan Teladan Rama Mangun
Penulis : St. Sularto, dkk.
Ukuran : 14 x 21 cm
Halaman : 200 halaman
Piring simbol perjamuan, beling simbol ketakutan dan kecurigaan. Dengan piring dimaksudkan siap bersilaturahmi, dengan beling pemiliknya siap mengamankan diri… Gereja perlu lebih ramah, tidak perlu ketakutan dan jangan menimbulkan kecurigaan. Dengan tidak dipagari beling, orang dipersilakan datang, dan tidak perlu ada yang disembunyikan.
“Ājā kok Pageri Omahmu Nganggo Beling, Pagerānā Nganggo Piring”, (hlm. 19)
Rama Mangun, manusia multidimensional. sastrawan, arsitek, pendidik, pemikir, rohaniwan yang tekun, aktivis gerakan sosial-politik yang peka dalam segala soal, utamanya penghargaan harkat kemanusiaan.
“Belajar dari Ujaran, Tindakan dan Gagasan Rama Mangun”, (hlm. viii)
Ada nuansa spontanitas dalam laku politik hati nurani. Sama seperti yang dilakukan Rama Mangun, ia “hanya menulis”. Kata “hanya menulis” dipakai di sini untuk mempertimbangkan dua hal: pertama, aktivitas menulisnya tak sedahsyat ketimbang usaha perpolitikan lain yang mengandung unsur penggalangan massa, membuat ideologi tertentu atau mendesakkan kepentingan kelompok; kedua, kata hanya dipakai di sini justru untuk memberikan nilai lebih pada aktivitas menulis yang dilakukan oleh Rama Mangun, karena dalam tulisan-tulisannnya tampak penjernihan yang dilakukan.
“Politik Hati Nurani: Pengabdian pada Kemanusiaan”, (hlm. 58)
Kini istilah “altar” dan “pasar” begitu populer dipakai. Umat yang baik dan Gereja yang baik, tentu saja yang bagus penghayatan imannya di “altar” dan di “pasar”. Zaman dulu “altar” dan “pasar” itu lebih populer dikatakan sebagai “ora et labora”, berdoa dan bekerja. Repotnya Gereja Diaspora yang dicita-citakan Rama Mangun masih terbentur pada kencenderungan umat yang lebih dekat dengan “altar” dan gamang pada” pasar”.
“Gereja Diaspora, Teologi Masa Kini”, (hlm. 122).