SEGERA TERBIT : CERPEN PILIHAN KOMPAS 2023

Judul: CERPEN PILIHAN KOMPAS 2023

Tim Juri: Hilmi Faiq, Andreas Maryoto, Budi Suwarna, Sarie Febriane,
Susy Berindra

Ukuran Buku: 14 cm x 21 cm, 160 halaman

SINOPSIS:
Harian Kompas sejak awal berkomitmen kuat untuk memberi ruang bagi sastrawan. Sekadar catatan, pada awal-awal terbit, persisnya pada 4 Februari 1967, Kompas sudah menerbitkan ulang cerita yang pernah tayang di majalah Praba, Lajang Saka: Saidjah. Ini menjadi embrio ruang sastra di Kompas. 

Cerpen-cerpen yang dimuat di Kompas sering kali mencerminkan berbagai tema dan isu sosial yang relevan. Hal itu menjadikannya sebagai salah satu sumber bacaan yang populer di kalangan pembaca. Penyediaan kolom sastra di Harian Kompas juga menjadi bagian dari upaya untuk mengembangkan sastra Indonesia dan memberikan ruang bagi penulis baru maupun penulis mapan. Dengan demikian, Kompas tidak hanya berfungsi sebagai media berita, tetapi juga sebagai wadah untuk seni dan budaya.

Tahun ini kami hadir dan semoga tetap bisa hadir pada tahun-tahun berikutnya mengiringi perkembangan sastra Indonesia yang kian matang, meski tak kunjung mapan. Sepanjang 2023, kami menerima 3.824 cerpen. Sebanyak 52 di antaranya dimuat di koran dan 104 lainnya di Kompas.id. Dari 52 cerpen itu kemudian kami pilih dan rangkum menjadi buku yang kini di tangan Anda. Tim juri merupakan awak redaksi Kompas, yaitu, Hilmi Faiq (Wakil Kepala Desk Budaya, sekaligus sebagai Ketua Tim Juri), Andreas Maryoto (Wakil Redaktur Pelaksana), Budi Suwarna (Kepala Desk Budaya), Sarie Febriane (Wakil Kepala Desk Jurnalisme Data dan Investigasi), dan Susy Berindra (Wakil Kepala Desk Regional). 

Sebagian besar cerpen-cerpen yang dimuat selama 2023 masih menggunakan gaya realisme sosial. Ini seperti menjadi kekhasan cerpen koran. Isu-isu yang diangkat dalam cerpen-cerpen kali ini relatif beragam dan relevan. Isu itu, antara lain kekerasan terhadap perempuan, kerusakan lingkungan, dan kematian. Isu-isu ini memang berulang hampir setiap tahun, tetapi tetap saja menarik karena dalam dunia nyata isu-isu tersebut tak pernah surut, seolah abadi. Maka, menjadi penting untuk menceritakannya kembali, terus, dan berulang kali guna menjaga kewarasan kita bahwa masih banyak hal-hal yang menjadi pekerjaan bersama.