Revolusi Tak Pernah Berhenti

Mengapa makam Mustafa Kemal Atarturk—pendiri Turki Modern—berada di Ankara, bukan di Istanbul? Padahal, ia meninggal di Istanbul. Letak geografis ini tak sekadar mengundang tanya, melainkan memuat makna mendalam. Ataturk memang memilih untuk dimakamkan di Ankara, bukan di Istanbul. Itulah cita-citanya. Ia ingin menjadi pembeda dan memutuskan ikatan antara zaman Ottoman dengan Republik Turki. Hal ini menunjukkan pemisahan yang tegas mengenai dua masa Turki yang sungguh berbeda: zaman Ottoman dan Turki modern.

Melalui pembangunan nasionalisme dan penerimaan terhadap modernisme, Ataturk yakin bahwa Turki mampu menjadi bangsa besar, sejajar dengan bangsa Eropa secara sosial, pendidikan, dan budaya. Revolusi Turki yang berlangsung pada 1918-1927 ternyata terus bergulir hingga hari ini.

Buku terbaru karya Trias Kuncahyono yang berjudul Turki, Revolusi Tak Pernah Henti menceritakan sejarah Turki sejak awal abad ke-20 hingga saat ini. Pada Rabu, 23 Mei 2018, buku ini diluncurkan oleh Budiman Tanuredjo, Pemimpin Redaksi Harian Kompas, di Ruang Cincin Api, Menara Kompas. Setelah peluncuran, diadakan bedah buku yang dipandu oleh Redaktur Pelaksana Harian Kompas, Mohammad Bakir. Hadir sebagai pembedahnya, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dan Direktur Moderat Muslim Society, Zuhairi Misrawi.

Dalam pemaparannya, Komaruddin menyampaikan perbandingan antara Turki dengan Indonesia. Kesamaannya adalah keduanya termasuk negara berpenduduk mayoritas Muslim yang tidak terlalu ter-Arabisasi-kan (the least Arabized Muslim countries), dianggap sebagai Islam pinggiran, dan menganut sistem demokrasi. Namun, perbedaan kedua negara ini cukup besar. Di Turki, agama adalah urusan pribadi. Tidak ada simbol agama di Istana atau institusi negara. Agama berkembang dalam domain pribadi sehingga berkembang gerakan-gerakan tasawuf, tarekat, dan juga dalam bidang pendidikan dan keilmuan. Pemimpin atau partai politik harus bisa menawarkan program yang baik agar dapat berkuasa. Sedangkan di Indonesia, simbol agama dipakai dan ditawarkan masuk dalam kancah politik dan sengaja dibaurkan dengan kekuasaan.

Turki masih tetap mempertahankan sekularisme sampai saat ini, yang mendasarkan sistem politiknya  pada demokrasi. Bahkan, Zuhairi menyampaikan bahwa Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan juga menawarkan sekularisme kepada Mesir sebagai solusi untuk kemajuan negara. Berkat sekularisme, Turki terbukti dapat meningkatkan perekonomian dan menumbuhkan kelas menengah. Berkat kedewasaan pandangan, Justice and Development Party (Partai AKP) yang saat ini berkuasa bisa keluar dari jebakan Islamisme dan membuat perubahan signifikan untuk kemajuan Turki.

Namun, kematangan politik Turki saat ini masih perlu dibuktikan lagi, apakah partai dan pemimpin yang berkuasa bisa tetap mempertahankan demokrasi atau malah kembali kepada otoritarian. Dalam buku karya Trias ini, diceritakan secara rinci pertarungan politik yang sengit dan belum terselesaikan antara Fethullah Gullen dan Erdogan. Dalam kilasan sejarah Turki dalam buku ini, orang secara tidak langsung diajak untuk merefleksikan kondisi Indonesia, sebagai negara di luar Arab yang berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. (CAH/RBE)