SALING mendukung dan bertukar ide seputar penulisan buku menjadi topik hangat dalam pembicaraan di antara para penulis Penerbit Buku Kompas (PBK). Itulah yang dirasakan oleh Diana Damayanti, penulis buku 365 Hari MP-ASI, dalam kesempatan ramah tamah Komunitas Penulis (KP) PBK, sekaligus memeriahkan acara peluncuran buku Turki, Revolusi Tak Pernah Henti, karya wartawan senior Kompas, Trias Kuncahyono, di Menara Kompas, Rabu, 23 Mei 2018. Danthe–panggilan akrab Diana Damayanti–merasakan bahwa dukungan PBK untuk terus produktif menulis begitu kuat. Ia menyampaikan bagaimana dirinya terus didorong untuk menulis buku oleh editor PBK. Saat menulis buku 365 Hari MP-ASI bersama Lies Setyarini, Diana tidak pernah mengira bahwa bukunya akan menjadi best seller dan terus diterbitkan hingga cetakan ke-6 sejak terbit pertama tahun 2013.
Hal senada dirasakan oleh A. Bobby Pr. Penulis yang mengkhususkan diri untuk menulis buku-buku biografi ini juga merasakan dorongan yang baik dari para kolega dalam wadah KP-PBK. Bobby mendapatkan ide dan banyak masukan positif dalam mempertimbangkan, mendalami, dan mengeksekusi calon buku yang akan ia tulis. “Teman-teman di KP-PBK maupun dari redaksi PBK punya andil yang cukup baik dalam proses penulisan yang saya jalani,” tuturnya lugas. Beberapa buku biografi telah ditulisnya, seperti H. Adi Andojo Soetjipto, S.H.: Menjadi Hakim yang Agung (PBK, 2017) dan Romo Cassut, S.J.: Dalam Senyap Bangun Pendidikan Vokasi Indonesia (PBK, 2018).
Di KP-PBK, Bobby didaulat menjadi “Lurah”, sebutan untuk koordinator yang sekaligus menjadi fasilitator bagi kolega penulis yang lain. Selama ini, Bobby dibantu oleh Imelda Bachtiar untuk mengoordinasi pertemuan dan diskusi yang diikuti oleh para penulis PBK. Mereka ini sering disebut sebagai “Pak Lurah” dan “Bu Lurah” oleh sesama penulis PBK. Mereka berdua selama beberapa tahun ini “merawat” KP-PBK dalam diskusi-diskusi rutin, mulai dari berembug ide/topik, tempat, konsumsi, narasumber, dsb.
Gema pertemuan para penulis PBK tersebut seolah begitu berkesan bagi Bu Lurah, Imelda Bachtiar. Penyusun buku Dari Capung Sampai Hercules (PBK, 2017) dan Pak Harto, Saya, dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017) ini menuliskan dalam laman Facebooknya, “Berkumpul dan merayakan keberhasilan seorang teman satu komunitas atas terbit bukunya, itu saat yang luar biasa!” Dalam refleksinya, Imelda memahami bahwa keberhasilan seorang teman ternyata menjadi pemantik semangat untuk lebih bersemangat dalam menulis dan menyelesaikan buku-buku yang masih “terhutang”. Baginya, terbitnya sebuah buku ini merupakan kebahagiaan tersendiri bagi seorang penulis, sekaligus menjadi dorongan bagi sesama penulis untuk berbenah dan lebih produktif lagi dalam berkarya.
Sementara itu, sejarawan Didi Kwartanada menilai bahwa kualitas suatu buku dinilai dari konten yang terkandung di dalamnya. Dalam proses menyuguhkan konten yang berkualitas, tentu penulis dan editor harus memahami isi bukunya. Apalagi dalam proses mengedit, seorang editor harus tahu betul tentang kebenaran konten naskah. Baginya, kesalahan dalam mengutip sumber merupakan salah satu contoh sesuatu yang fatal. Didi tidak akan rela jika orang salah mengutip dari suatu sumber, terutama yang terkait dengan sejarah. Editor buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran sejak Nusantara sampai Indonesia (PBK, 2014) dan penulis buku Biografi A.R. Baswedan (PBK, 2014) ini tetap memegang teguh prinsip bahwa kebenaran adalah hal yang mutlak. Oleh karena itu, penggemar buku yang sudah mengoleksi ribuan judul ini mengusulkan agar PBK secara serius menerbitkan buku-buku seri sejarah unggulan. Dan, untuk menunjang konten yang berkualitas, ada baiknya penerbit juga memiliki “editor luar” yang benar-benar ahli di bidangnya.
Apresiasi terhadap temu KP-PBK juga disampaikan oleh Martin Aleida. Penulis cerpen dan novel ini ternyata juga menulis buku nonfiksi, Tanah Air yang Hilang (PBK, 2017). Buku tersebut mengisahkan pengalaman 19 orang Indonesia yang kehilangan Tanah Air dan hidup di sudut-sudut Eropa. Secara umum, Martin merasa cukup puas selama berproses dengan PBK. Dia pun menjadi tahu dan paham mengenai kehati-hatian PBK ketika menghadapi “isu-isu yang masih sensitif” untuk menjadi konsumsi publik. Meskipun secara faktual benar, hal-hal tersebut tetap harus dikemas secara santun dan jangan sampai menimbulkan kegaduhan yang berpotensi menceraiberaikan masyarakat. Hal-hal yang bisa menimbulkan penilaian sebagai bentuk sikap partisan juga dihindari, karena selain memilih kedalaman, PBK juga tampil netral. Itulah yang dipahami Martin selama berproses dengan PBK. “Kalau ada satu hal yang bisa saya sarankan, mungkin untuk cover bisa lebih dipercantik. Walaupun sebenarnya hal itu balik lagi ke selera masing-masing,” tambah penulis yang saat ini sedang diminta untuk menuliskan biografi oleh rekannya
Lain halnya dengan Bambang Murtianto, yang menyebut dirinya sebagai “spesialis penerjemah untuk PBK” walaupun dia juga menulis buku Kata-Kata Terakhir Romo Mangun (PBK, 2014). Bambang Murtianto bukanlah nama baru di KP-PBK. Beberapa karya terjemahannya yang sudah dipublikasikan antara lain Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (PBK, 2014) karya Peter Carey dan Jejak Hitler di Indonesia (PBK, 2017) karya Hoorst H. Geerken. Bambang sangat menghargai kinerja PBK yang selalu berupaya menghadirkan buku-buku berkualitas, yang sepertinya kurang mendapatkan perhatian dari penerbit besar lainnya. Menurut Bambang, inilah tanda bahwa PBK masih memegang idealisme, yang tidak melulu mengikuti tren pasar. PBK masih punya ciri edukatif bagi pembacanya, serta memilih kedalaman sebagai cara bekerjanya.
Selain itu, Bambang menilai bahwa PBK mampu menghadirkan nama-nama penulis besar dalam buku-buku terbitannya. Hanya dengan melihat namanya saja, pembaca pasti langsung mengamini kredibilitas serta kualitas hasil karya para penulis tersebut. Namun, Bambang juga mengingatkan bahwa PBK dinilai masih belum maksimal memanfaatkan kekayaan sumber data yang tersimpan di Litbang Kompas. “Kekayaan Litbang Kompas itu sangat luar biasa, harus dimanfaatkan. Tidak perlu selalu mencari penulis dari luar,” tandasnya.
Bambang merasa bahwa buku PBK yang kadang terkesan “serius dan berat” ternyata juga diminati pembaca. Terbukti bahwa sebagian judul berhasil dicetak ulang, bahkan hingga beberapa kali. Dia pun memaklumi sikap PBK yang selalu netral karena membawa nama besar Kompas sebagai media nasional yang tidak berpihak, meskipun hal tersebut kadang menjadikan PBK tidak bisa terlalu kontroversial dalam mengolah isi buku. Padahal, sebenarnya banyak isu yang menurutnya bisa lebih dikulik lagi dan dikemas secara bombastis. Namun, lagi-lagi, PBK memilih jalan “kedalaman” yang tidak populer untuk zaman ini. (IR, MIT, PAT, RBE)