Peter Carey Menjawab Ngobrol #15

Dalam kegiatan rutin dwimingguan yang diadakan oleh Komunitas Penulis Penerbit Buku Kompas, Peter Carey mendapatkan banyak pertanyaan dari para partisipan. Dari pertanyaan yang masuk, berikut adalah pertanyaan yang belum sempat terjawab ketika acara berlangsung:

Tanya (T): Mengapa Pak Peter tertarik untuk menulis tentang sejarah di Indonesia?

Jawab (J): Latar belakang ketertarikan saya untuk menulis sejarah Indonesia terlalu panjang untuk diceritakan di sini. Anda bisa  membacanya secara gratis di situs Adacemia dalam artikel “In Search of Diponegoro.”

Sejak saya di Indonesia pada Oktober 2008 (setelah mengambil penisun muda dari Oxford), saya memiliki tugas untuk menyiapkan tulisan-tulisan dalam bahasa Indonesia yang lebih enak dibaca dan mudah dijangkau oleh masyarakat umum seperti Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa (Komunitas Bambu, 2008), Asal-Usul Nama Yogyakarta dan Malioboro (Komunitas Bambu, 2015).

T: Apa yang membuat Pak Peter bersedia datang ke Indonesia dan meninggalkan segala kenyamanan yang ada di Inggris?

J: Selain Anda bisa membacanya dari artikel “In Search of Diponegoro”, kisah saya juga ditulis dalam otobiografi pendek saya berjudul Urip Iku Urub (Penerbit Buku Kompas, 2019). Harus diakui, selama di Indonesia saya mengalami a harvest of my life. Artinya, saya bisa memetika hasil buah karir sebagai sejarawan selama 50 tahun terhitung sejak 1970. Dengan kata lain, saya memiliki kesempatan untuk membawa apa yang telah saya teliti dan tulis mengenai Pangeran Diponegoro ke ranah umum yang lebih luas. Dalam bentuk buku berbahasa Indonesia yang bisa diakses dengan mudah. Hal itu akan sulit terwujud apabila saya masih tinggal di Oxford.

Contoh lainnya adalah buku Destiny: The Life of Prince Diponegoro of Yogyakarta, 1785-1855 (Oxford: Peter Lang, 2014) yang saya terbitkan di Oxford dalam bahasa Inggris. Oleh Penerbit Peter Lang buku ini hanya dijual sebanyak 200 eksemplar selama 8 tahun. Bandingkan dengan versi terjemahannya, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Diterbitkan tahun 2017, kini sudah dicetak ulang sebanyak 6 kali.  Sudah terjual sebanyak 1.200 eksemplar. Jadi, keputusan saya untuk pindah ke Indonesia pada Oktober 2008 sangat berdampak pada karir sebagai seorang sejarawan. No move to Indonesia, no harvest of my life!

T: Bagaimana proses riset Pak Peter hingga bisa menulis dan melahirkan karya bagus seperti itu?

J: Proses riset sedikit mitip dengan membuat minuman anggur yang bagus (vintage wine). Yaitu (1) memetik buah (dalam kasus sejarah dan biografi seorang Diponegoro yakni mengumpulkan bahan dari arsip dan perpustakaan); (2) dipres dan disaring supaya sarinya bisa dimasukkan ke dalam tong anggur (membaca dan membaca ulang semua anotasi yang telah dibuat agar apa yang dibaca bisa masuk ke dalam otak sehingga kami bisa melihat pola hidup Diponegoro — see underlying patterns and dynamics in either a life story or period of history); (3) membiarkan anggur berfermentasi untuk beberapa tahun (jangan tergesa-gesa menulis buku, melainkan membiarkan adanya fermentasi intelektual — fermentation of ideas); dan akhirnya (4) dituangkan dan diminum (membuat buku).

Saya rasa yang paling penting ialah kesabaran dan kerelaan untuk membiarkan sumber berbicara (allowing the sources to speak for themselves) daripada membuat tafsir sendiri sebagai seorang sejarawan (imposing one’s own value judgements on the sources).

T: Apabila sudah mentok menulis, apa yang Pak Peter lakukan?

J: Sejak menjadi sejarawan peneliti (research student) pada 1970 pasca lulus S1 di Oxford dan setahun di Cornell (1969-1970), saya sudah lama mengumpulkan bahan arsip seperti Nationaal Archief di Belanda dan ANRI di Indonesia. Saya juga telah mengumpulkan karya sastra Jawa seperti Babad Diponegoro dan Buku Kedhung Kebo. Dengan mengumpulkan bahan tugas utama yang awalnya dimaksudkan untuk penulisan tesis S3 di Oxford (1976). Tapi tentu ada banyak bahan yang belum saya pakai. Jadi saya pikir, bahan-bahan itu bisa dijadikan buku monograf seperti Inggris di Jawa, 1811-1816 (Oxford: OUP, 1992). Kadang, saya juga diminta oleh penerbit untuk menyiapkan buku baru dari bahan yang sudah saya kumpulkan selama ini. Jadi, proses kreatif biasanya mulai dengan arsip penelitian, mengikuti seminar, berbincang dengan teman sesama sejarawan atau “uji coba” tulisan pendek. Itu semua diasah dengan tukar pikiran bersama penerbit. Sesudah itu, bisa lahir sebuah buku.

T: Bagaimana caranya mengatasi keterbatasan referensi ketika menulis biografi Pangeran Diponegoro?

J: Dengan tekun mencari bahan. Di arsip, koleksi pribadi, atau melalui wawancara dengan anggota keluarga Diponegoro. Kini, generasi milenial di Indonesia punya kesempatan untuk melacak semua naskah terkait Diponegoro dan Perang Jawa dalam bentuk digital. Sumber ini sedang disiapkan sebagai sumber online di ruang-ruang baca khusus seperti yang didirikan di Purworejo oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika. Di sana nantinya akan ada bahan mengenai sejarah daerah Purworejo/Bagelen dan tentang keluarga bupati perdana, Raden Adipati Cokronegoro I (1779-1862; menjabat 1831-1856). Saya yakin, contoh yang ada di Purworejo ini akan ditiru di mana-mana. Universitas Kristen Satya Wacana sedang membuat yang serupa di Salatiga untuk ruang baca tentang Geger Pacinan (1740-1743). Dengan demikian, sumber lokal bisa dibaca dan dijangkau lebih mudah.

T: Apakah Pak Peter pernah memiliki pengalaman mistis selama menulis tentang Pangeran Diponegoro?

J: Saya pernah melakukan “pendekatan” dengan Diponegoro melalui meditasi dan berziarah ke tempat keramat yang bersinggungan dengan hidupnya, seperti Gua Secang (Selarong). Ketika itu saya masih menjadi peneliti di Yogyakarta. Saya  sempat menginap semalam (Desember 1971) di sana. Saya juga menjadi anggota Paguyuban “Sumarah”, sebuah aliran kebatinan untuk mengasah “rasa” yang menurut saya punya andil yang penting untuk mengerti kehidupan batin orang Jawa.

Pangeran Diponegoro bukan orang terdidik tetapi seorang otodidak (self-taught). Dia memiliki hati nurani yang tajam dan pengetahuan untuk melihat makna dari seseorang yang polos (dalam pepatah Inggris: the wisdom of a simple man). Kapasitas ini juga mencakup kemampuan membaca alam dan zaman melalui pendekatan dengan alam dan dunia fauna. Setiap momen dari kehidupan Diponegoro memiliki hewan khusus yang menemani. Seperti kura-kura dan ikan koi di Selorejo, burung kakatua di Manado dan Makassar, badak, macan, dan buaya saat menjadi buronan di hutan Bagelren dan Banyumas.

Selain itu, Diponegoro punya kapasitas untuk membaca karakter dari firasat (membaca wajah dan raut muka orang yang dipilih sebagai komandan medan dan pejabar sipil/administrator). Untuk masuk ke dalam ruang pikiran seorang Diponegoro tidak mungkin sejarawan memakai logika saja, melainkan juga harus mengasah hati nurani kami sendiri. Bagi saya seperti mempraktikkan meditasi dan berziarah. Dengan begitu, sejarawan bisa bersentuhan dengan dunia Diponegoro yang cukup unik sebagai seorang yang banyak belajar tasawuf serta belajar dari tariqoh.

T: Apakah persamaan dan perbedaan antara Pangeran Arya Panular dengan Pangeran Diponegoro ?

J: Mengenai Babad Diponegoro yang saya publikasikan sebagai Babad Diponegoro: A Surakarta Court Poet’s Account of the Outbreak of the Java War (1825-30), saya menulis, “derajat reliabilitas historisnya luar biasa. Di sepanjang karyanya, sang penulis babad telah menunjukkan kemampuannya untuk memahami rincian yang akurat yang bisa dikonfirmasikan berkali-kali dengan sumber-sumber Jawa dan Belanda lainnya.” Penilaian hampir serupa dengan sedikit perbedaan juga saya berikan pada sebuah babad yang masih berbentuk draf (serat babad ngèngrèng) yang ditulis oleh Pangeran Panular (sekitar 1772-1826), pakdhé Diponegoro dan putra Sultan Mangkubumi (bertakhta 1749-92), sang pendiri Keraton Yogyakarta, yang kini tersimpan di British Library (Add. MS 12330):

“Babad Panular tidak pernah dimaksudkan untuk memberikan suatu ikhtisar tentang berbagai peristiwa kontemporer dari sudut pandang realpolitik. Justru sebaliknya, babad itu selalu dibayangkan sebagai sebuah sarana untuk memproyeksikan penafsiran yang sangat pribadi dari sang pangeran pada berbagai hal dan memulihkan harga dirinya yang kerap terlukai.” [Peter Carey (peny.), Inggris di Jawa 1811-1816 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2019), hlm.11-12].

Dengan demikian:

“Meskipun babad Panular ini mengandung banyak detail menarik tentang kebudayaan dan masyarakat Jawa pada awal abad ke-19 pada dasarnya hal itu tidak ada hubungannya dengan tema utama babad tersebut, yang adalah upaya dari sebuah keluarga untuk mengkonsolidasi satu posisi pengaruh di istana [Keraton Yogyakarta]. Para sejarawan modern yang belajar di Barat, yang lalu mempelajari naskah itu untuk data tentang perkembangan non-politik, harus terus-menerus memikirkan kenyataan ini [Tekst asli berbunyi: Although the chronicle contains many interesting details about early nineteenth-century Javanese culture and society these are essentially extraneous to the babad’s main theme of a family’s attempt to consolidate a position of influence at court [Yogyakarta kraton]. Modern Western-trained historians, who come to study the text for data on non-political developments, should constantly bear this in mind.]”

Meskipun sangat sedikit informasi yang akurat tentang latar belakang penyusunan otobiografi Diponegoro, namun kepentingannya sebagai sumber sejarah telah lama ada.

Diakui pula oleh sejarawan militer Belanda, Pieter J.F. Louw (1856-1924) yang memakai babad secara ekstensif untuk menulis tiga jilid awal dari enam jilid tentang sejarah Perang Jawa (De Java-oorlog van 1825-1830, The Hague: Nijhoff / Batavia: Landsdrukkerij, 1894-1909). Dia pernah menulis, “tanpa ragu-ragu kami mengatributkan nilai historis yang begitu tinggi pada Babad Diponegoro, begitu pula sejarahnya Perang Jawa tidak diragukan lagi dapat dicap sebagai sangat tidak lengkap jika tidak menggunakan babad sebagai sumber.”

Louw memanfaatkan terjemahan Belanda dan Melayu dari naskah aslinya. Minat utamanya pada babad adalah untuk memeriksa detil keterlibatan militer. Tetapi, bahkan setelah perbandingan rinci dengan laporan militer Belanda yang tersedia, Louw tetap setuju dan memberikan pujian tertingginya kepada babad: “Kisahnya [Diponegoro] sejauh yang kami bisa menilai, adalah orang yang cerdas dan dalam banyak hal tidak hanya […] mempertahankan kendali atas sumber-sumber Eropa tetapi […] ini memberi lebih dari ini.” Pendapat penulis saat ini bahwa babad paling banyak berguna untuk mengecek detil tentang sejarah Yogyakarta sebelum Perang Jawa dan aktivitas Diponegoro sendiri di Tegalrejo.

Penilaian historis karya Louw cukup dibenarkan untuk periode ini dan mungkin juga untuk pandangan Diponegoro tentang peristiwa selama Perang Jawa  (1825-30) itu sendiri. Itu tidak bisa disebut sebagai sebuah sumber objektif karena prasangka dan anggapan Diponegoro tertera jelas dalam babad. Di keberpihakan politik di Keraton Yogyakarta, misalnya, Diponegoro mendukungnya ayah (calon Sultan Hamengku Buwono III) melawan partai Pangeran Notokusumo (1764-1829; kemudian Paku Alam I, memerintah 1812-29) dan bahkan melawan pengikut Sultan Kedua. Dengan demikian, kisah tersebut mencerminkan pandangan Diponegoro yang bersifat pribadi dan partisan kepada istana Sultan.

T: Menurut Pak Peter, apakah yang menarik dari sejarah?

J: Jelas sekali bahwa kita semua yang hidup di Bumi Manusia ini perlu menjawab tiga pertanyaan dasar untuk menavigasi hidup kita – (1) Siapakah saya? (2) Mau kemana? (3) Berasal dari mana?

Saya ingat pada bulan September 2006 saat kembali dari Irlandia dengan truk Toyota Hilux kuno ke Oxford. Tepat di luar Newport di Wales, saya menunggu dengan tenang di lampu merah pada jalan lingkar luar kota ketika sebuah truk yang mengirimkan generator dan muatan yang sangat berat menabrak bagian belakang truk yang saya tumpangi. Jendela belakang pecah dan saya terkena serpihan kaca di kulit kepala. Akibatnya, saya mengalami gegar otak.

Setelah dirawat di ICU lokal di Newport, saya memaksa diri untuk jalan kembali ke Oxford. Setiba di rumah saya di Oxford, saya menemukan bahwa ingatan jangka pendek saya telah ‘dihapus’ oleh kecelakaan itu. Segala macam ketidaknyamanan muncul akibat cedera itu. Nyatanya, kehilangan ingatan ini membuat sangat sulit untuk bernegosiasi dan menjalani hidup saya. Mirip dengan mereka yang tidak memiliki pengetahuan tentang sejarah mereka sendiri atau masyarakatnya! Suatu lobotomi ingatan bangsa!

Jawaban teman dekat saya di Singapura, juga seorang sejarawan terkenal:

“Persis! Itulah yang telah dilakukan media sosial kepada kita sekarang … kita hidup dalam masyarakat yang dilobotomi oleh media sosial dan cara mengajar sejarah yang sangat kaku dan tidak memadai sebab sarat kepentingan politik dan agamis.”

So we need to know our history (personal, family, community, national, global) in order to navigate our lives!

T: Siapakah pihak-pihak berjasa yang telah membantu Pak Peter dalam melakukan penelitan di Indonesia?

J: Saya tertolong dengan kehadiran Pak Sundoyo, seorang pria Jawa tua baik hati yang pernah bertugas mengurus arsip di akhir periode Belanda (1945-49). Dia tampaknya memiliki pengetahuan tak tertandingi tentang arsip kolonial tersebut. Dia banyak menolong saya di ANRI.

Ada pula Pak Pusponingrat (KRT Puspaningrat, mantan wakil bupati Bantul) yang banyak menolong saya dengan mentransliterasi 5.000 halaman teks aksara Jawa dari Babad dan arsip Keraton yang dirampas Inggris (Juni 1812) ke teks romawi yang diketik. Berkat pertolongan itu, saya bisa menerbitkan semua teks itu sebagai The Archive of Yogyakarta, Jilid I dan II (Oxford: OUP for the British Academy, 1980 dan 2000). Saya juga tidak bisa lupa landlady (ibu rumah kost) tempat saya tinggal, Ibu Kusumobroto dari Pakualaman, yang telah memberi sebuah pendopo di Ndalem Tejokusuman secara cuma-cuma selama dua tahun (1971-1973).