Budiman Tanuredjo Menjawab Ngobrol #21

Dalam agenda rutin Ngobrol Proses Kreatif ke-21, Budiman Tanuredjo menjawab beberapa pertanyaan yang belum sempat dibahas ketika acara berlangsung.

Pertanyaan (T): Bagaimana kiat untuk tetap merawat keberanian dalam “menyuarakan suara kaum tak bersuara” dan terus merawat api kesadaran kegelisahan publik, serta tetap eksis dalam acara “Satu Meja the Forum” di KOMPAS TV?

Jawaban (J): Dalam bahasa saya harus tetap “ngepas”. Kegelisahan publik tetap harus disuarakan dengan sebisa mungkin tanpa harus mempermalukan orang. Yang penting sebuah pesan bisa sampai ke publik. Dalam bahasa Jawa Pak Jakob selalu mengajarkan, “Ngono yo ngono ning ojo ngono”. Kita juga harus memahami tidak ada malaikat di muka bumi. Kritik disampaikan with understanding.

T: Bagaimana Mas Budiman bisa terus produktif dan bisa terus menginspirasi para pembaca Kompas & di acara Satu Meja The Forum Kompas TV?

J: Satu Meja adalah kerja tim. Dan saya hanyalah salah satu dari tim itu. Kami membahas tema, membahas alur dan membahas narasumber bersama. Pesan yang disampaikan dalam tema Satu Meja Talkshow adalah respon saya atas berbagai masalah yang dibahas.

T: Bagaimana mas Budiman punya ide untuk ditulis? Apakah berangkat dari politik hukum yang ramai seminggu belakangan atau lebih ingin memilih topik yang tidak terlalu aktual tapi masih sesuai dengan kehidupan politik hukum kita hari ini?

J: Ide selalu berseliweran. Jika kita mengamati masalah di masyarakat, itulah dunia ide tulisan. Karena begitu banyaknya, maka dipilihlah yang paling punya kemanfaatan bagi publik dan dari sisi waktu, Kadang sebuah ide yang sama mendesak, bisa saja didorong ke Sabtu depan. Kolom Sabtu sudah lama di Harian Kompas. Awalnya ada beberapa penulis, tapi sejak tiga tahun terakhir saya sendirian menulis tiap Sabtu.

T: Kolom mas Budiman di Kompas isinya renyah dan mengalir. Untuk sampai ke level tulisan seperti itu, berapa tahun lamanya Mas Budiman mencapainya? 

J: Tentunya semua berkembang mas. Saya sudah menjadi wartawan selama 31 tahun dan menjadi pemimpin redaksi Kompas selama empat tahun. Sekarang, selain menjadi host di Satu Meja KompasTV , saya ebih banyak mengurusi manajemen sambil tetap menulis kolom, buku dan menjajal platform baru di Youtube (Opini Budiman dan Back to BDM) dan siniar (Suara Palmerah dan Back to BDM).

T: Bagaimana Mas Budiman melakukan proses transformasi dari latar belakang pendidikan teknik nuklir menjadi penulis buku di bidang hukum dan politik?

J: Mengalir saja. Realitas empirik menuntut saya tertarik pada masalah hukum dan politik serta masalah-masalah kemanusiaan.

T: Bagaimana tulisan yang bermula dari cerita kecil hingga menuju topik yang besar untuk dibagikan melalui tulisan narasi? Tulisan yang menyambung satu ide ke ide yang lainnya.

Setelah mendengar potongan-potongan kisah dari Mas Budiman, saya menjadi penasaran adakah sosok yg menjadi motivator atau rule model dari Mas Budiman sebagai wartawan? Dan apakah yang menjadi prinsip hidup Mas Budiman?

J: Terima kasih masukannya dan penghargaannya. Dari sisi kewartawanan saya kagum dengan gaya bermedia Pak Jakob Oetama. Keras dalam prinsip lentur dalam cara. Itu seni. Prinsip hidup saya sederhana, bagaimana karya saya bisa bermanfaat bagi orang lain.

T: Bagaimana cara Mas Budiman untuk menghadapi pihak-pihak yang mencoba mendistorsi realitas dengan rasionalisasi atau merelativisir kebenaran? Banyak pihak-pihak mencoba melakukan distorsi kebenaran dengan cara rasionalisasi atau merelativisir kebenaran sehingga banyak orang tertipu dengan argumen-argumen yang memukau seolah-olah benar.

J: Sangat wajar orang mencoba merasionalisasi sebuah peristiwa. Itu sah-sah saja.  Namun yang bisa men-challenge itu semua adalah bagaimana data dan fakta disajikan. Saya masih yakin kekuatan data dan fakta akan bisa mengimbangi era post-truth society sekarang ini.

T: Mas Budiman tadi berkata bahwa yg jadi masalah adalah ide-ide yang begitu banyak. Lalu bagaimana cara memutuskan untuk memilih ide yg akan dieksekusi? Khususnya untuk menulis sebuah buku.

J: Yang menentukan adalah deadline. Saya tak mungkin mengembara dengan dunia gagasan terus meneurs, tapi pada satu saat Jumat malam sudah saya harus putuskan untuk menulis apa. Untuk buku sedikit berbeda, butuh waktu lebih lama dan kendalanya adalah endurance.

T: Apakah terdapat batasan terhadap peran media dalam mengawasi suatu peristiwa (kejadian)? Karena setelah beberapa lama kita mudah lupa akan suatu peristiwa (kejadian) yang pernah terjadi.

J: Justru itu media berperan untuk mencatat peristiwa dan melengkapi cerita. Saya pernah menulis kolom berjudul Cerita-Cerita Tak Lengkap. Itu adalah cara saya mengingatkan bahwa banyak kasus yang belum selesai.  Misalnya soal kisah sepatu dan sepeda. Saya ingatkan kepada pemerintah bahwa ada kasus “penyelundupan” sepeda yang belum selesai. Tapi sekarag itu sudah dituntaskan.

T: Apakah dengan menjadi penulis isu politik dan hukum, membuat Mas Budiman jadi menjaga jarak dengan pihak-pihak tertentu agar tulisan yang dipaparkan tidak terpengaruh dengan hubungan personal dengan orang yang diberitakan atau ditulis? Kalau benar demikian, apakah Mas Budiman tidak menyesal jadinya bapak harus “memilah-milah” dalam pergaulan?

J: Tidak, saya berupaya bergaul dengan siapa saja, tanpa kelas, tanpa membedakan latar belakang. Dengan itu pemahaman saya lebih lengkap.

T: Apakah ada perbedaan tantangan dalam menulis, ketika di bawah pemerintahan presiden yang berbeda beda?

J: Gaya bahasa. Dalam sebuah pemerintahan yang akademis, bahasanya mengikuti dengan yang akademis. Dalam pemerintahan yang terus terang, kita ikuti dengan bahasa yang sama agar frekuensinya nyambung. Momentum juga menentukan.

T: Dalam menulis, apakah ada pertimbangan khusus yang dilakukan sebelum memutuskan untuk menulis suatu isu (dan melakukan riset atau pencarian data terkait isu tersebut)?

J: Kepentingan publik dan momentum. Momentum ikut menentukan apakah Sabtu depan masih bisa ditulis atau harus saat ini.

T: Apa pesan Mas Budiman untuk penulis-penulis baru, agar dapat menghasilkan tulisan yang berbobot dan tidak memihak?

J: Teruslah membaca dan teruslah menulis.

T: Bagaimana cara memilih salah satu peristiwa yg menarik tersebut untuk menjadikannya satu tulisan yang yakin bahwa akan menarik atau tulisan yg dibutuhkan untuk di baca orang lain?

J: Kepentingan publik yang lebih utama. Banyak cerita yang beredar dan mana yang mau didalami dan disampaikan kepada pembaca. Tapi pada sisi lain, ada aspek kebosanan terhadap sebuah tema juga harus jadi pertimbangan.

T: Apakah mas Budi setuju bahwa sesungguhnya jurnalis itu berpihak? Sebagaimana yang disampaikan tadi, bahwa berpihak kepada kebenaran, dari hasil olah observasi dan penempatan objektivitas si penulis/jurnalis.

J: Ya, keberpihakan pada fakta, kebenaran dan keadilan. Namun cara penulisannya tetap harus mengikuti kaidah jurnalisme dan kode etik jurnalistik. Prinsip etik di jurnalisme harus jadi panduan utama.

T: Apakah idealisme menulis seorang wartawan dapat terkendala oleh limit imajiner (ojo kebablasan) pada saat adanya strong pressure masyarakat untuk menyampaikan interests-nya? Sementara tulisan yang dibuat tanpa rasa kasih dan keterlibatan emosional biasanya kurang bagus.

J: Bagi saya menulis adalah respons saya terhadap keadaan. Bagi saya, bagaimana pesan itu sampai. Di situlah seni atau intuisi politik sampai sejauh mana pesan dalam tulisan itu bisa diterima tanpa menimbulkan implikasi lain.

T: Bagaimana cara efektif untuk menyaring berita atau informasi agar terhindar dari berita atau informasi yang hoaks tersebut?

J:  Berpikirlah skeptis. Jangan mudah percaya. Carilah sumber yang kredibel.

T: Bagaimana Mas Budiman menakar bahwa artikel tulisannya tidak kebablasan dan membahayakan?

J: Selain soal kode etik jurnalistik tapi juga butuh intuisi dan memahami karakter politik.

T: Sebagai jurnalis tentu memiliki agenda kerja yang padat, yang dihadapkan dengan berita setiap hari dengan isu yang beragam. Bagaimana mengatur waktu antara menjalankan tugas jurnalistik dan menulis buku? Apakah bahan-bahan buku itu dikumpulkan dari hasil kerja jurnalistik?

J: Ya, sebagian buku saya adalah ekstensa dari kerja jurnalistik saya. Bahkan ada yang di balik layar jurnalistik.

T: Menurut Mas Budiman, karakter kekuasaan di era Pak Jokowi seperti apa? Apa bedanya dengan Pak SBY dalam konteks menemukan ide menulis?

J: Pak Jokowi sangat terbuka dengan ide ide baru. Inovatif dan selalu mencari yang baru. Pak SBY keajegan sistem dan regularitas penting.

T: Apakah kekuatan tulisan dalam sebuah buku? Dibanding tulisan kolom atau catatan yang lebih bebas dan langsung tuntas, apakah bias juga diterapkan dalam tulisan buku? Termasuk, gaya penyajian dan karakter penulis, adakah batasan dos and don’ts ketika menulis buku?

J: Kalau saya, adakah sesuatu yang baru dari buku itu. Adakah gagasan baru. Namun buku akan lebih punya ruang untuk menggambarkan sebuah peristiwa lebih lengkap. Bagi saya, realitas bisa dtulis lengkap karena saya tak terbiasa menulis fiksi.


Kumpulan tulisan Budiman Tanuredjo sudah bisa didapatkan melalui kanal resmi Harian Kompas. Jangan sampai kehabisan!