INSTAN, itulah salah satu ciri yang acap kali dilekatkan pada era sekarang. Kebanyakan orang memilih untuk mendapatkan informasi yang serba cepat. Kejadian di belahan dunia nun jauh di sana dapat segera diketahui dalam hitungan detik, bahkan dinikmati secara real time. Pun istilah instan juga mengindikasikan sesuatu yang kurang memerhatikan proses di balik sajian informasi. Proses ini sebenarnya ingin merujuk aktivitas filterisasi informasi, check and recheck, pengujian kebenaran dan validitas informasi, serta pernik-pernik aktivitas lainnya.
Tanpa memerhatikan proses tersebut, informasi yang disajikan pun boleh jadi dangkal. Kedangkalan ini semakin mencuat sebagai fenomena yang menjangkiti “kids zaman now”–istilah yang disematkan untuk generasi muda saat ini. Namun, banyak yang merasa sama sekali tidak terundung oleh problem kedangkalan ini. Apalagi, hadirnya teknologi komunikasi dan percepatan perkembangannya telah menjadikan kedangkalan ini mewabah dalam kemasan-kemasan budaya instan. Dalam hal ini, wabah instanisme tersebut sudah menjadi fenomena mondial, yang memuat kedangkalan, lebih menekankan kemasan daripada isi, serta menyelipkan agenda konsumtif yang bersifat adiktif.
Meski demikian, di pusara arus instanisme itu, masih ada yang menyemaikan benih-benih kedalaman. Inilah suatu gerakan melawan arus, yang harus siap untuk menjadi tidak populer dan tidak dilirik banyak orang. Namun, selalu ada ceruk komunitas yang secara sadar memisahkan diri dari gerombolan yang sudah mabuk dengan instanisme tersebut.
Hal senada diungkapkan Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Budiman Tanuredjo, dalam sambutan peluncuran buku Turki: Revolusi Tak Pernah Henti, di Menara Kompas, Rabu, 24 Mei 2018. “Di era yang serba cepat, instan, dan dangkal, Kompas dan Penerbit Buku Kompas (PBK) setia menampilkan kedalaman,” tandas Budiman. Buku karya Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Trias Kuncahyono ini disebut Budiman sebagai salah satu contoh kedalaman di tengah budaya instan zaman ini.
Indikasi kedalaman buku ini, lanjut Budiman, terlihat dari “Daftar Pustaka” yang digunakan. Trias melakukan kajian serius dan berkualitas dengan menggunakan sekitar 200 entri buku dan jurnal, serta puluhan berita dari berbagai media cetak dan elektronik. Selain itu, pengalaman jurnalistik penulis di lapangan yang mendalam menjadikan buku ini sungguh bermutu. Sejak lama, konsistensi mendalami Timur Tengah dihidupi oleh Trias Kuncahyono. Bahkan salah satu karyanya, Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, menjadi best seller yang sudah dicetak ulang sebanyak 19 kali oleh PBK. Inilah jalan yang dipilih Kompas dan PBK.
Buku Turki: Revolusi Tak Pernah Henti memotret secara jernih mengenai perjalanan sejarah Turki sejak zaman Ottoman hingga Turki modern saat ini. Beberapa tema sentral yang belakangan mengemuka, menjadi keunggulan buku ini, seperti relasi agama dan negara, Islamisme dan modernisme, serta kekhalifahan dan demokrasi. Hal-hal tersebut dapat ditemukan dalam dinamika perjalanan sejarah Turki yang direkam dengan begitu apik oleh Trias. Menurut Budiman, buku ini merupakan respons terhadap narasi-narasi pendek yang akhir-akhir ini mencuat. Lagi-lagi, memasuki relung kemendalaman tetap menjadi jalan dan cara yang dipilih PBK untuk memotret segala sesuatu dan menyajikannya sebagai inspirasi bagi pembaca. (RBe)